Part 1
Story by: farhatunnisa
Namanya Faira Anatasya Permata, biasa di panggil Faira. Ia menduduki kelas 10 di SMA pertiwi 10 jakarta.
Percayalah perjalanan hidupnya tak semenarik anak remaja lain, tak cerah kisah-kisah anak yang seumuran dengannya. Pasti kalian tak percaya kan seorang Faira memiliki banyak masalah, tak banyak orang yang tau tentang hidupnya yang sebenarnya. Karena, Faira tak mudah terbuka oleh orang lain sekalipun dengan keluarganya sendiri.
Hari ini, Faira berjalan seorang diri. Memasuki koridor sekolah yang lumayan ramai karena jam masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Masih pagi bukan? Ya Faira sengaja datang pagi karena memang itu kebiasaannya. Kenapa? Entahlah Faira lebih suka datang pagi ketimbang datang siangan seperti kebanyakan anak sekolah lainnya. Alasannya, karena Faira lebih suka sendiri. Karena biasanya jam segini siswa/i belum banyak yang datang sepagi ini.
Dan benar saja, ketika Faira memasuki ruang kelasnya, kelas 10 IPA 2. Hanya ada segelintir orang yang sudah berada di kelas, itu pun hanya anak-anak yang sudah terbiasa datang pagi.
Faira melangkahkan kakinya menuju tempat duduk yang berada di barisan ke tiga.
Mendudukkan pantatnya setelah menarik kursi untuk di duduki, jangan lupakan kebiasaan Faira ketika sudah berada di kelas. Ya kebiasaan Faira ketika sudah berada di kelas, Faira selalu membawa earphone ketika di sekolah ataupun sedang berada di luar rumah Faira selalu membawanya untuk mendengarkan musik. Entahlah, tapi Faira selalu merasa risih ataupun merasa terganggu oleh keadaan sekitar, oleh karena itu Faira selalu membawa earphone yang menurutnya merasa tenang dan tak terganggu dengan suasana hiruk pikuk yang ada di sekitar.
Hanya dengan musik yang bisa membuat Faira tenang, dan meredamkan emosinya.
Memutarkan lagu dari ponselnya, lalu mulai menaruh kepalanya di lipatan tangan yang sengaja Faira taruh di atas meja dan mulai memejamkan matanya berharap semua beban dalam kepalanya menghilang dalam sejenak.
“Siapkan defibrillator!!”
“Baik dok!!”
“100 joule, 1 2 3 shoot!!”
“200 jolue, 1 2 3 shoot!!”
“Lagi, 300 joule. 1 2 3 shoot!!”
“Kita sudah berusaha yang terbaik, tapi mungkin tuhan berkehendak lain. Umumkan waktu kematian.”
“Waktu kematian, pukul 03.00 malam waktu.”
“Maaf, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi kami sudah tak bisa menolongnya.”
“Apa? Ini ngga mungkin kan dok? Pasti nenek saya masih hidup. Dokter bercanda kan?! Nggak mungkin!! Nggak mungkin!!”
“Maaf, kami turut berduka cita. Kalau begitu permisi.”
“Nggak mungkin! Ini nggak mungkin!! Aarrgghhh!!!”
“Faira tenang nak, masih ada mamah di sini. Kamu nggak boleh gitu, kan masih ada orang yang sayang sama kamu. Nenek udah tenang.”
“Huh! Orang yang sayang sama aku? Siapa? Dimana mamah sama papah di saat aku sakit? Kemana mamah sama papah setiap ada acara di sekolah? Siapa yang selalu ada di samping saya, ngerawat saya? Siapa?!! Seharusnya saya tidak usah memanggilnya dengan sebutan mamah atau papah, karena kalian nggak pernah ada di saat saya butuh.”
“Faira!! Jaga ucapan kamu!!”
Satu tamparan tepat mendarat di pipi kanan Faira, airmata yang sejak tadi membendung di pelupuk matanya kini jatuh dengan mulusnya di pipi Faira. Sungguh, Faira tak pernah di tampar dalam hidupnya, baru kali ini ia di tampar oleh ayahnya sendiri. Ingat, ayahnya sendiri, ayah kandung Faira.
Rani yang baru saja tiba di kelasnya memandang aneh ke arah teman sebangkunya itu. Tentu saja memandang Faira, Rani Fazira ini teman sebangku sekaligus teman dari kecilnya Faira. Sejak kecil mereka selalu bersama, hanya saja ketika SMP saja mereka pisah di karena memasuki sekolah yang berbeda, tapi di SMA mereka bertemu kembali. Benar-benar takdir yang mengejutkan.
Rani ikut mengernyitkan keningnya bingung, melihat Faira juga mengernyitkan keningnya dalam tidur. Ingin membangunkan tapi Rani ragu, jika tao di bangunkan Rani khawatir melihat Faira mengeluarkan begitu banyak keringat di keningnya, jangan lupakan dengan kernyitan di dahinya dan sesekali juga seperti sedang menggumamkan sesuatu tapi Rani tak tau pasti apa yang di gumamkan Faira.
Dengan ragu, Rani mengguncangkan badan Faira pelan bermaksud untuk membangunkan Faira. Jika di lihat dari rautnya sekarang, sepertinya Faira sedang bermimpi buruk, maka dari itu Rani dengan perasaan khawatirnya melihat keadaan Faira berniat membangunkan sahabat sejak kecilnya itu.
“Fai, Faira?”
Rani terkejut ketika mendapati Faira langsung membuka matanya, dengan nafas yang memburu dan juga keringat yang bercucuran. Faira mengangkat kepalanya, menetralkan deru nafasnya yang memburu seperti habis berlarian di siang bolong, padahal cuaca hari ini sedikit mendung.
“Lo kenapa Fai? Mimpi buruk lagi?”
Yang di tanya hanya terbengong, memikirkan soal mimpi tadi. Lagi, mimpi yang selalu menghantui dalam tidurnya, mimpi yang tak pernah di harapkan datang lagi, mimpi yang selalu membuatnya terbangun di kala tidurnya, Faira sudah bersusah payah untuk menghilangkan ingatan itu, tapi nyatanya tak bisa.
Bahkan ingatan itu selalu datang dalam mimpinya, dimana saat itu ia benar-benar merasa hanya seorang diri tanpa ada yang menemani. Bagaikan ia berada di tengah hutan yang tak ada penghuninya.
“Fai?” Sekali lagi Rani memanggil namanya, tapi sang empu baru saja tersadar dari lamunanya.
“Hah? Apaan gue ngga papa kok.”
“Serius? Kek nya tadi lo ngga baik-baik aja tuh. Kenapa? Ada masalah? Cerita dong? Atau lo mimpi buruk lagi?”
“Nanya satu-satu dong.”
“Hehe sorry.”
Rani hanya cengengesan tidak jelas, merasa bersalah juga meruntunkan banyak pertanyaan kepada Faira.
Tunggu next partnya ya😉
Terimakasih sudah mampir😊
Gamsahamnida💕
Add comment